Sejarah ini berasal dari distrik Dipa Kabupaten Nabire, provinsi Papua. 
Foto : Ditome Papua
Alkisah. Dahulu kala hiduplah sekelompok orang di salah satu kampung, nama kampung itu Lamei. Kampung Lamei sendiri terletak di atas gunung. Orang-orang yang tinggal di gunung itu memiliki marga, iya itu Wakey.

Ada juga marga Uwesa Tali yang hidup di sepanjang kali Bedu, Pada suatu hari, marga Uwesa Tali berencana menyerbu marga Wakey di gunung Lamei. Tujuan mereka ingin merebut tanah Lamei dari penghuni atau  penduduk asli tempat itu.

Marga Uwesa Tali hari itu juga mereka bersiap-siap untuk mengadakan peperangan besar-besaran di gunung Lamei. Melawan marga Wakey. Uwesa Tali berjalan kaki dari kampung Bedu menuju kampung Lamei.

Di sepanjang perjalanan menuju Lamei dua hari dua malam. Setelah sampai di Lamei, Uwesa Tali menyerbu marga Wakey dengan anak panah yang mereka bawa.

Marga Wakey bergegas mengambil Anak Panah di dalam Gabewa Artinya rumah adat suku Mee, mereka masing-masing dan berperang melawan Uwesa Tali.

Uwesa Tali banyak sekali korban yang berjatuhan dalam peperangan tersebut, satu minggu berlalu marga Uwesa Tali terus berjatuhan korban dan sampai akhirnya, marga Uwesa Tali yang tersisa hanyalah tiga orang.

Ketiga orang itu melarikan diri dan kembali lagi ke Bedu. Tiga orang itu setelah sampai di Bedu, mereka berpikir banyak bagaimana mengalahkan marga Wakei yang tinggal di kampung Lamei.

Di kampung Bedu masih banyak Uwesa Tali, yang tinggal disana, dua kali lebih banyak dari pada pemuda  yang telah tewas dalam peperangan di kampung Lamei.

Uwesa Tali pergi sebelah kali Bedu bertemu orang Ause, Ause ini walaupun tergabung dalam Meepago, tetapi Bahasa mereka, sangat berbeda dengan bahasa Mee yang sering di gunakan suku Mee pada umumnya.

Kepala suku Ause ternyata ia megerti bahasa Mee yang di gunakan oleh Uweha tali.

Suku Ause ilmu mereka sangat kuat dan luar bisa, mereka mengambil istri dari bangsa lain ia itu bangsa jin, atau setan.

Suku Ause bisa memerintahkan  gunung untuk pindah dari posisi awalnya. Bisa mengutus babi hutan untuk menggigit orang yang jauh dari situ, mereka hanya menyebutkan nama orang yang dituju, semua akan terlaksana kan.

Kepala suku Ause menerima keluh kesah nya Uwesa Tali. Kepala suku Ause berkata kepada tua-tua adat, atau orang-orang yang berilmu tinggi. Untuk mengikuti peperangan tersebut di gunung lamei, hari itu juga kepala suku Ause bersama Uwesa Tali, ke seberang kali Bedu, untuk menginap bersama Uwesa Tali, karena pagi mereka sudah harus memulai perjalanan menuju kampung Lamei.

Malam itu mereka menginap bersama-sama dan banyak membahas strategi yang mereka akan pakai di kampung Lamei.

Sesudah pagi tanpa tunda-tunda mereka memulai perjalanan, setelah dua hari dua malam di tengah jalan, akhirnya mereka sampai juga di gunung Lamei, di setiap jalan mereka menghamburkan okolo, artinya Arang.

Setiap lelaki atau perempuan yang melintasi jalan dimana mereka menaruh atau menghamburkan okolo Artinya Arang  mereka akan meninggal. Di siang itu juga marga Wakey semuanya meninggal dunia karena telah menginjak perangkap setan atau jin yang di pakai oleh suku Ause.

Marga Wakey yang mendiami tempat itu semuanya meninggal dunia, kerena menginjak perangkap setan.

Tetapi yang tersisa hanyalah seorang ibu dan anak laki-laki nya yang masih kecil. Ibu itu  berencana membawa anak kecil tersebut menuju daerah Dipa, karena mendengar jerit tangis yang terjadi di kampung Lamei pada siang itu.

Anak kecil tersebut adalah marga Wakey tentunya ia akan di bunuh kalau pihak musuh melihatnya. Ibu itu ber marga Madai, turunan dari Totai Tepa Madai, di Suwou.

Dengan sangat diam ibu itu keluar dari rumah karena melihat suaminya yang nafas satu-satu terkena perangkap setan dari Ause, tinggal tunggu meninggal di depan pagar rumah yang mereka tinggal.

Ibu itu ia berlari sambil menggendong anaknya lewat belakang rumah, tetapi pihak musuh tidak ada yang melihat mereka berdua, tujuan ibu itu membawa anaknya, menuju kampung lain, selama di pertengahan jalan anak mama tidak memakan makan satupun dan Anak mama tersebut tidur di bawa pohon serta di bawah batu yang berbentuk goa, ibu dan anak itu hanya meminum air.

Ibu itu melihat jauh ke atas ternyata ada rumah Gabewa di puncak gunung Molopa Kotu artinya Gunung batu.

Dengan semangat, ibu itu terus memanjat Gunung tersebut, akhirnya sampai juga di puncak Gunung itu.

Ibu itu berdiri di depan Gabewa tersebut, walaupun dengan sedikit ragu ibu itu terus maju mendekat Gabewa itu. Ibu itu melihat ada seorang bapak dan anak kecil di dalam rumah, yang sedang asik bermain.

Ibu itu memperhatikan anak bapak itu dalam diam, ternyata bapak ini ia bersama putrinya yang masih kecil, seumur dengan putra ibu itu, ibu itu berdiri di depan pintu dan masih menatap anak bapak yang lagi ke asikan bermain, bapak itu ia sangat kaget karena ada orang yang memperhatikannya dari luar pintu Gabewa Artinya Rumah adat suku Mee.
Bapak              : Kouko mamema, artinya kamu siapa.

Bapak itu menyuruh anak mama tersebut untuk masuk, kedalam Gabewa. Ibu itupun menceritakan apa yang telah terjadi di gunung Lamei, karena bapak tersebut mendengar cerita ibu itu, hatinya sangat terharu dan merasa kasihan dengan ibu itu, bapak itu menyuruh mereka berdua tetap tinggal bersamanya. Tidak lama kemudian ibu itu menikah dengan bapak tua tersebut.

Marga bapak itu, sampai saat ini belum di sebut-sebut, masih di rahasia kan, oleh mereka yang mengetahui cerita rakyat ini lebih mendetail, sol nama bapak ini.

Lima belas tahun berlalu anak-anak, mereka berdua sudah besar, pria yang begitu tampan dan jago dalam berburu serta memasang jerat di pohon maupun di tanah.

Cewek yang begitu cantik jelita, kuat bekerja menanam ubi jalar serta talas dan lain-lainnya.

Suatu hari ibu dan ayahnya mengawinkan anak mereka berdua dan menyuruh mereka berdua untuk tinggal di sebelah gunung Molopa kotu Artinya gunung batu.

Sepasang suami istri tua itu bekata kepada anak mereka berdua,
Bapak           : kou kotu sokouto kouko inaisa boke amainai akale abai, aa kou kotu autu kuoko ikaisa, boke amainai akale abai,
Artinya, kalau di sebelah gunung ini kami berdua punya.  Pasang jerat. Petik daun koba-koba.
Dan di balik gunung ini, kalian berdua punya. Pasang  jerat dan petik daun koba-koba .
Sepasang suami istri muda itu tinggal di sebelah gunung itu. 

Sekian lama mereka berdua tinggal disitu, sepasang suami istri itupun pergi ke kampung isoumani di sebelah kali Dipa.

Tiga tahun berlalu mereka tinggal di isoumani, sepasang suami istri itu pindah lagi ke dikisa, sekarang yang di jadikan tempat distrik, ibu kota distrik Dipa.

Sepasang suami istri itu di karuniai tiga anak laki-laki, pria itu ia sangat gembira karena telah mendapatkan generasi penerus marga nya. Makanan yang mereka makan ubi jalar talas keladi dan pisang.

Setelah mereka sudah beranjak remaja ayahnya melatih mereka dalam berburu.  Dua puluh tahun sudah mereka tambah dewasa, ketiga anak itu pergi mengikuti ayah mereka untuk memasang jerat di hutan.

Ketika sampai di hutan, ayah ketiga anak ini mengajari mereka, memasang jerat di pohon dan di tanah. Selama masa latihan mereka, ayahnya selalu memperhatikan mereka.

kayu yang di pakai anak pertama untuk memasang jerat, ia tidak pilih memilih yang penting kayu ia gunakan. Kayu yang di pakai anak kedua adalah Kala dan anak bungsunya bapak itu ia mengunakan kayu deba.

latihan mereka selama satu minggu pun usai, setelah ketiga anak itu sudah menguwasaai cara pasang jerat yang benar.

Pagi itu sebelum mereka berpisah ayah berkata,
Bapak              : Odani Uwata kouda too akado
  Artinya, nanti sebentar sore kita bertemu disini.

Pagi itu mereka ber empat berpencar dari Gabewa dimana mereka tinggal. Sepanjang hari mereka memasang jerat di pohon maupun di tanah. Ketika sore menjelan tiba mereka ber empat bertemu di Gabawe Artinya rumah ada suku Mee.

Pagi itu ayahnya memperhatikan anaknya yang kedua memotong kayu (kala) anak yang paling bungsu memotong kayu (deba), kayu buah tersebut di siapkan untuk memasang jerat di hutan nanti.Tetapi anak pertama bapak itu ia mengunakan kayu tanpa pilih memilih.

Pagi itu mereka berpencar untuk melihat jerat yang mereka pasang kemarin di hutan dan sambil memasang jerat baru.

Ternyata banyak sekali kus-kus tanah dan kus-kus pohon yang mengenai jerat mereka, hasil buruan mereka hari itu bisa di bilang banyak.

Sore itu mereka bertemu di Gabewa, ternyata ayahnya juga membawa buruan, anak pertamanya membawa umago wod artinya  kus kus raja, anak keduanya juga membawa buruan dan yang bungsu pun, membawa buruan.

Sore itu mereka membuat parah parah di dalam Gabewa Artinya rumah ada suku Mee, untuk mengasar hasil burung tadi.

Malam itu ketika seusai masak mereka melahap makan hingga habis dan tertidur lelap karena kecap
, pengaruh jalan yang begitu panjang yang telah di lalui oleh mereka.

Setelah pagi tiba anak keduanya memotong kayu kala, anak yang bungsu juga memotong kayu deba, ayah mereka selalu memperhatikan ketiga anaknya, apa yang mereka perbuat selamah mereka di hutan tropis.

Pagi itu ayahnya berkata,”
Bapak        : Aki memau ida anii eka umalo paa, kanela, ana kou eka umalo paa kanila kouko, malisoka no laitale sika, leto umalo woda to uki dokei metele kisa, eka umalo paa kanela
artinya kamu sebagai kakak yang tua saya kasih nama umalo paa, saya kasih nama umalo paa, karena kemarin hampir semua kus-kus tanah pohon yang kau dapat, kus-kus raja.

Bapak              aki ana soka wisalo kaa ida, eka kala kenela, aki kala pisa too duaitele kisa, boke mainaiko, okai kou dani teitele kisa, kala pisa eka daula kanela
Artinya anakku yang kedua saya kasih nama kala bapa melihat kamu memotong, kayu kala untuk memasang jerat, dengan alasan itu saya memberikan namamu kala.

Bapak          : Aki ana soka amadi ida, deba mitoo, akiki, akisa bebei maa,  enaa dani kousa. Akina naa boke mainai nee pisa koo, deba too duwai teleh kousa
Artinya kamu anakku yang paling bungsu saya kasih nama deba mitoo kamu sama seperti kakak mu, kau juga selalu memotong kayu deba, untuk memasang jerat.

Ini sebagai dasar nama yang di berikan oleh orang tua mereka, beralih kesini walau pun marga yang di pakai adalah Wakey tetapi, nama tetek moyang mereka tetap melekat pada marga Wakey, silsilah turun temurun dari Umalo paa, Kala, Deba Mitoo, apa bilah ia turunan dari Deba Mitoo ia akan di tandai oleh Deba Mitoo, Silas Wakey Deba mitoo kita bisa tau bahwa dia turunan dari Deba Mitoo, Umalo paa begitu juga Kala.

Gunung lamei sendiri tak ada satupun marga Wakey yang mendiami tempat itu sampai saat ini, mulai dari peperangan Uweha Tali melawan marga Wakey.

 Di gunung lamei hanya terlihat peninggalan peninggalan zaman dulu seperti tomo artinya tali rotan yang sering di gunakan untuk membuat api dan tamane upa Artinya kampak serta pisau yang terbuat dari batu.

Marga wakey hanya ada di distrik Dipa kampung Dikisa. marga Wakey sendiri di Dikisa terbagi ada beberapa tempat lomaida, nomoulai, ldapapa dan Dikisa sendiri.

Wakei Deba Mitoo dari Dikisa, Nomoulai, Idapapa, Wakei Umalo paa dari lomaida dan Wakei Kala dari Lomaida juga.

Oleh : Ditome Papua

Post a Comment